KH 01 (dari 10)

Di mana pun berada, jangan bergenggam tangan kala melihat derita

KH 01 (dari 10)

Atas permintaan teman, saya ingin berbagi kisah hidup (KH). Melanjutkan cerita yang sudah kadung dibuka. Saya akan mempostingnya secara runut, setiap hari, saat burung pertama berkicau di awal pagi (Menurut kabar yang saya yakini: Siapa yang bangun di awal pagi, akan Diberi rezeki, Dicintai sampai mati, Diberkahi di alam abadi). Saya mulai di hari Idulfitri ini hingga 01 Mei 2023 nanti. Dan saya akan menceritakan kisahnya sejak memulai kuliah sarjana, mengkreasi sejumlah algoritma artificial intelligence dan swarm intelligence, hingga mendapat amanah sebagai guru besar.

KH 01 (dari 10)

Di ujung senja, Agustus 1993, saya mencium punggung tangan kedua orang tua, terpana memandangi wajah mereka. Hanya tawa renyah dan binar bahagia di sana. Tak ada air mata.

Sebelum naik becak bersama dua kakak ke stasiun, Ibu saya berkata dalam Bahasa Jawa, “Le, tangane ojo digengem ae yo.”

Saya mengangguk mantap, dengan janji tertancap kuat: “Di mana pun berada, saya tak akan bergenggam tangan kala melihat derita.”

Malam itu, pertama kalinya saya naik kereta api dari Jombang menuju Bandung. Memulai studi sarjana Informatika. Bertemu anak-anak hebat dari berbagai wilayah Nusantara. Karena keterbatasan dana, saya merasa minder, mengurung diri di kamar, terlalu serius belajar, dan berujung munculnya sifat egois yang berlebihan. Penyebab lainnya? Sepertinya karena sejak balita saya kurang pandai berbicara, kurang pintar berteman. Jadi, di semester pertama, susah menemukan nilai A, bahkan ada satu mata kuliah yang harus diulang: Algoritma dan Pemrograman (Alpro). Hanya Fisika dan Kalkulus yang berjaya.

Namun, sejak mengenal sejumlah teman, saya mulai menjalani nasihat Ibunda dan lelaku Jawa: ngesat ilat ngetus weteng (menjaga lisan banyak puasa). Saya mulai sering dikunjungi dan mengunjungi teman-teman (seangkatan maupun kakak angkatan) yang menderita kesulitan belajar padahal punya buku-buku impor orisinal. Di rumah kos mereka, serius saya membaca, memahami, dan mengkurasi banyak buku: tak peduli betapa pun tebalnya. Lalu mengajarkan kepada mereka pengetahuan dan insight yang saya dapatkan di sana.

Saya suka. Mereka bahagia. Mereka bilang, deritanya mulai berkurang dan merasa lebih mudah mengikuti perkuliahan. Dan saya merasakan banyak berkah: mudah memahami segala dan meraih banyak nilai sempurna. Sejak semester tiga hingga lulus kuliah, susah menemukan nilai selain A.

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan