KH 02 (dari 10)

Wanita selalu benar atas perasaannya, pria hanya perlu memberinya bukti nyata yang meyakinkan

KH 02 (dari 10)

(Lanjutan)

KH 02 (dari 10)

Maret 1998, saya lulus sarjana teknik. Meski tak bergelar insinyur, saya bahagia bisa mewujudkan mimpi Ayah: “Satu dari sembilan anakku harus bisa menjadi engineer.” Mantap saya memilih karir akademisi, demi merealisasi mimpi lebih tinggi. “Mimpi tidak untuk digapai, tapi mesti dilampaui,” janji saya pada diri sendiri. Dan saat mengikuti pelatihan dosen muda, saya dapat insight untuk melampaui mimpi.

“Tugas seorang akademisi adalah menjadi guru besar. Hampir sama dengan menikah. Perlu diusahakan, disegerakan. Betapa pun berat rintangannya,” tutur seorang begawan pendidikan, salah satu panutan saya. “Apapun pilihan karirmu, kau pasti akan memasuki roller coaster kehidupan. Berdebar saat naik perlahan. Berdegup kala jatuh dengan kecepatan mengerikan. Segera cari pasangan agar permainan jadi menyenangkan.”

Empat dosen muda sepakat mengadakan arisan pernikahan: 100 USD per orang. Para senior tertawa membuli saya: “Pasti kau paling belakangan.” Wajar. Karena saya belum punya pacar dan terlihat kurang meyakinkan. Namun, jodoh tak dapat ditebak. Saya yang pertama menikah, menang arisan.

“Kok bisa? Bagaimana kau bisa meyakinkan gadis jelita dalam sebulan?“ tanya para senior, keheranan.

“Blokosuto,” jawab saya, apa adanya. “Kepada gadis itu, saya bilang terus terang bahwa penghasilan saya belum seberapa. Masih harus bantu ekonomi orang tua dan biaya kuliah adik saya. Jadi, saya enggak bisa mengajakmu pacaran seperti kebanyakan pria tampan yang sudah mapan. Kalau berkenan, aku akan melamar dan menyegerakan prosesnya. Pacarannya nanti saja setelah menikah. Saat saya menemui bapak-ibunya, mereka merelakan bahkan sebelum saya meminta.”

Teman-teman, motivasi pernikahan saya tedas dan sederhana: mendapatkan teman main roller coaster, memenangkan arisan, menghentikan bulian. Tapi gadis itu tak pernah mengatakan motivasinya. Dia tak pernah menjawab pertanyaan saya: “Mengapa kau mau menikah denganku?” Berkali-kali, bertahun-tahun, saya tanyakan. Tak pernah ada jawaban. Entahlah. Kayaknya saya mesti memberinya bukti nyata. Ya, bukti nyata yang meyakinkan bahwa pilihannya tidak salah. Singkatnya, “Wanita selalu benar atas perasaannya. Pria hanya perlu memberinya bukti nyata yang meyakinkan.” Untuk sementara, kendati dihantui penasaran, saya menyerah pada satu kesimpulan, “Cinta benaran tak butuh alasan.”

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan