KH 03 (dari 10)

Setiap orang itu pintar atau jenius, aku hanya perlu pemicu dan pemacu paling jitu

(Lanjutan)

KH 03 (dari 10)

Di awal-awal karir saya sebagai akademisi, banyak mahasiswa menyebut saya sebagai Dosen Terburuk di Kampus. Ya, mereka benar. Bahkan saya merasa sebagai Dosen Terburuk di Dunia. Dalam mindset saya, hanya ada dua tipe mahasiswa: Belum Pintar dan Tidak Pintar. Bagi yang Belum Pintar, serius saya mengajarkan pengetahuan. Tapi bagi yang Tidak Pintar, saya abaikan. Celakanya, lebih banyak yang saya anggap Tidak (Akan Bisa) Pintar. Terihat dari nilai-nilai mereka yang rata kanan: lebih banyak D dan E. Kalau ada mahasiswa bertanya, saya menatapnya tak suka seraya menjawab dengan sebuah pertanyaan: “Kau kira aku enggak bisa?” Ya, kalian benar, saya dikenal sangat arogan: merasa paling benar, paling pintar, paling hebat.

“Bapak Ibu senior, saya ingin jadi dosen yang baik. Bagaimana caranya?”

“Enggak tahu. Kami hanya mengikuti para pendahulu.”

Beruntung, Agustus 2004, saya dapat kesempatan studi master di dekat kutub utara. Bertemu seorang profesor muda, jenius, energik, inspiratif. Di minggu pertama, dia mengajarkan pelajaran SMP, tapi lebih mendalam dan banyak insight mengejutkan. Minggu kedua, pelajaran SMA. Lagi-lagi dipenuhi insight mengejutkan. Namun, saya kecewa: untuk apa jauh-jauh ke kutub utara kalau cuma dapat pelajaran SMP dan SMA?

Syukurlah, kecewa itu sirna di minggu ketiga. Dia mengajarkan teori peluang yang mencengangkan. Teori yang sudah lama membeku di kepala saya, sejak di bangku SMP, mencair seketika. Semenjak itu, pikiran saya disirami inspirasi dan pencerahan tingkat tinggi. Membuat kepala yang semula hampa menjadi sarat pengetahuan.

“Mengapa dia selalu terlihat rendah hati, humble, be happy no worry?”

Lama saya mengamati. Berhari-hari.

Dan di akhir quater, saya meyakini: kepalanya yang penuh pengetahuan membuatnya selalu humble, energik, dan inspiratif; membuatnya memiliki mindset bahwa hanya ada dua tipe mahasiswa: Pintar dan Jenius; membuatnya mampu memicu-macu potensi setiap mahasiswa, secara personal, dengan cara paling maksimal. Singkatnya, kepala yang penuh pengetahuan akan mengosongkan dada dari perasaan paling benar, paling pintar, paling hebat. Sebaliknya, kepala kosong bikin orang jadi sombong.

Selesai studi master, Mei 2006, saya merasakan transformasi besar: bagai ulat mengakhiri puasa, lepas dari kepompongnya, terbang sebagai kupu-kupu bersayap kristal. Saya menjadi akademisi dengan mindset baru: “Setiap orang itu pintar atau jenius. Aku hanya perlu pemicu dan pemacu paling jitu.”

Sejak itu, banyak mahasiswa mengatakan bahwa saya telah berubah dari Dosen Paling Buruk menjadi Dosen Paling Diburu. Mereka antusias ingin berguru, ingin potensi besarnya dipicu dan dipacu, hingga ujung waktu.

Aduuuh, saya jadi malu. Saya belum memberi banyak bukti ke arah situ. Saat saya bertanya kepada pacar: Apa betul, Cah Ayu? Dia tidak menjawab, hanya tersipu!

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan